Our social:

Merdeka atau Mati, sudahkah Kita Merdeka?

Merdeka atau Mati bukan hanya slogan dan simbol semata, kata-kata itu adalah sebuah motivasi dan semangat untuk berjuang, secara mendalam Merdeka atau Mati merupakan sebuah klausa yang mengandung arti bahwa kita dihadapkan pada sebuah kenyataan yang terdesak sehingga mengharuskan kita untuk memilih.
Didalam kenyataan sehari-hari orang yang terdesak dan terpojok akan melakukan apapun, termasuk mengorbankan jiwa dan raga.

64 tahun yang lalu kata-kata tersebut sering terdengar dan tertulis di hampir setiap tembok, untuk memberi semangat sekaligus harapan, sekarang sudah 64 tahun kita terbebas dari penjajahan.

Tapi, benarkah kita sudah merdeka?

Sulit untuk menjawabnya..

Bila definisi Merdeka adalah jaminan atas dasar-dasar hidup dan terbuka luasnya pilihan hidup, terbebas dari penindasan, rasa takut, tekanan sosial, ekonomi dsb.

dan menurut Wikipedia:
Kemerdekaan adalah: saat di mana sebuah negara meraih hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya.

Bisakah disebut merdeka bila hampir semua kebijakan kita selalu di
diboncengi agenda asing.

Apakah pantas disebut Merdeka
bila sebagian besar kekayaan kita dimilik asing, bahkan beberapa BUMN strategis kita sebagian dikuasai asing.

Didalam negri, kita lihat para pengusaha lokal gulung tikar, karena tidak mampu bersaing akibat doktrin pasar bebas yang sebenarnya lebih menguntungkan negara maju, yang ironisnya mereka memproteksi produknya.

Benarkah kita Merdeka bila lahan-lahan tempat usaha mereka yang notabene masyrakat kecil harus terus tergusur, untuk berusaha menyambung hidup dengan berdagang harus selalu berhadapan dengan aparat Satpol PP, yang beberapa kali memakan korban.

Pasar-pasar tradisional tergusur oleh pasar-pasar modern yang bisa dengan mudah masuk ke desa-desa.

Salah satu ciri Merdeka adalah terbebas dari rasa takut,
Tapi rasa takut selalu menghantui para lulusan sekolah, yang tidak tahu harus kemana setelah lulus, biaya kuliah benar-benar membuat mereka takut, bahkan untuk bekerjapun mereka takut, kalau-kalau mereka tidak diterima karena sepengetahuan saya lowongan kerja tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja, dan bila diterimapun mereka harus rela dengan gaji rata-rata dan karir yang tidak jelas,

Patutkah kita mempertanyakan: sebenarnya Kemerdekaan ini untuk siapa?
Untuk para pamong praja dan adipati-adipatikah (pemangku jabatan pemerintahan)?
Ataukah untuk kita semua.

Sebuah ironi, para punggawa kita sering berplesiran keluar negri dengan uang rakyat dengan alasan studi banding,
Meminta cendramata berupa emas murni di akhir jabatan yang menghabiskan uang negara milyaran, yang pada masa jabatanya tidak jelas prestasi apa yang telah diperbuat.
Belakangan terdengar kabar bahwa mereka menaikan anggaran tunjangan mereka sendiri.
Disisi lain tidak jauh dari mereka di kolong-kolong jembatan di Jakarta yang saya yakin pasti merekapun tahu, dan pernah melewati jalan tersebut dengan mobil mewah mereka yang dibiyayai negara, tetapi berpura-pura seolah-olah tidak tahu (semoga saya salah dengan pendapat ini), banyak anak-anak kecil mengemis, orang lanjut usia yang tidak memiliki tempat tinggal, mereka hidup dari mengumpulkan botol minuman bekas untuk dijual.
Sebuah ironi di negri yang konon mempunyai semberdaya alam yang melimpah.

Konstitusi menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”,

Tetapi Negara mungkin terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga mengabaikan warganya.

Ingat kisah seorang bocah yang bunuh diri karena malu belum membayar SPP Sekolah,
Ingat juga kisah orangtua meracuni anak dan istrinya kemudian dia bunuh diri.

Mungkin mereka lebih memilih Mati karena mereka tidak pernah bertemu dan merasakan Merdeka di negri yang konon telah 64 tahun melakukan perayaan kemerdekaan.

Apakah pelaku bom bunuh diri di kuningan juga memilih Mati karena mereka tidak merasakan kemerdekaan di negri ini.

Entahlah....


Selamat HUT Kemerdekaan RI...
Senyumlah Indonesiaku..

Merdeka....

Advertisment